Rabu, 21 Desember 2011

Pemilukada : Realita Politik Aceh


Pemilukada : Realita Politik Aceh
Oleh: Jefri Susetio
PERGOLAKAN konflik bersenjata berakhir secara demokratis setelah ditandatanganinya kesepakatan damai antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang biasa di sebut MoU Helsinki. Tindak lanjut dari kesepakatan damai diwujudkan Undang-Undang (UU) Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Secara khusus Undang-Undang tersebut lahir sebagai suatu bentuk kebijakan nasional Republik Indonesia yang bertujuan untuk mengatur penyelengaraan Pemerintahan Aceh sesuai dengan kerangka MoU Helsinki, kondisi ini tentu saja bisa di maknai sebagai penguatan demokratisasi di indonesia khususnya di Aceh, karena menyelesaikan konflik Aceh tanpa mengunakan kekuatan militer.
Dalam perjalanannya kondisi sosial politik di Aceh kian dinamis ketika memasuki pemilukada tahun 2006, pemilukada pertama pasca konflik ini berjalan dengan sangat terbuka dan memberikan dinamika yang unik dalam proses demokratisasi di Aceh, kerena pada saat pemilukada yang diselenggarakan Desember 2006 ini pulalah calon perseorangan dari jalur independen untuk pertama kalinya diperbolehkan ikut bertarung dalam pilkada di Indonesia. Dan penyelengaraan pemilukada pun berjalan sangat terbuka dan demokratis, tentu saja memberikan ruang kepada Partai Politik Nasional (PARNAS) dan calon perseorangan yang berasal dari eks- kombatan untuk ikut berkompetisi menjadi calon bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota dan gebernur/wakil gebernur. Dan kepercayaan masyarakat terhadap para calon perseorangan yang berasal eks- kombatan sangat besar, hal ini terbukti hampir semua calon perseorangan yang berasal dari eks-kombatan menang di 17 kabupaten kota serta provinsi.
Partisipasi politik rakyat Aceh semakin mencuat ketika memasuki pemilu tahun 2009 yang lalu, pada saat pemilu tahun 2009 tranformasi politik Aceh sangat panas karena ketatnya persaingan antara Partai Politik Nasional (PARNAS) dengan Partai Lokal (PARLOK) dalam memperebutkan empati rakyat. Antusias rakyat Aceh untuk mendukung Partai Lokal khususnya Partai Aceh sangat besar, hal ini dapat dilihat ketika kampanye Partai Aceh mampu mengkonsolidasi ribuan masyarakat sipil dan terbukti secara demokratis Partai Aceh menang pada saat pemilu dengan perolehan suara mencapai 48,78 % keberhasilan Partai Aceh dalam memenangi pemilu tahun 2009 yang lalu telah mendudukan 33 kader terbaiknya di kursi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sedangkan di tingkat kabupaten/ kota Partai Aceh menguasai 237 kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di 21 kabupaten/ kota di Aceh
            Keberhasilan Partai Aceh  dalam memenangi pemilu 2009 yang lalu menunjukkan bahwa dukungan rakyat Aceh kepada Partai Aceh yang kebanyakan berasal dari eks- kombatan sangat kuat, namun sayang dukungan masyarakat yang sangat kuat ini tidak menjadikan Partai Aceh tetap solid dalam memperjuangkan kewenangan Aceh yang telah di atur dalam UUPA, tetapi terlihat bahwa kader Partai Aceh di DPRA belum menunjukkan kemajuan untuk mewujudkan cita-cita MoU helsinki. Dan sering terjebak pada berbagai persoalan yang pragmatis kemudian berakibat terjadinya keretakan dan kecemburuan antara sesama eks- kombatan.
Polemik Calon Perseorangan
Euforia politik menjelang Pemilukada tahun 2011 penuh dengan dinamika yang kemudian menjadi polemik dan konflik antara legislatif, eksekutif  dan KIP Aceh (konflik regulasi) tentang pro dan kontra calon perseorangan. telah menjadikan isu pilkada Aceh menjadi isu terhangat sepanjang tahun 2011 ini. Isu calon perseorangan telah melewati beberapa tahap yang dikemas menjadi suatu perjalanan politik yang penuh dengan teka teki yang membuat hampir semua elemen masyarakat di Aceh terhegemoni oleh pro dan kontra calon perseorangan. Tahap yang pertama adalah telah dikirim kembali Raqan Pemilukada kepada DPRA oleh Kementerian Dalam Negeri, dan kemudian tahap kedua yang manarik adalah 16 partai politik yang dipelopori oleh Partai Aceh sepakat untuk menunda pemilukada yang dijadwalkan KIP Aceh tanggal 14 November 2011 dan koalisi partai ini berhasil dengan penundaan pemilukada sampai dengan tanggal 24 Desember 2011 dan tahap ketiga adalah timbulnya pergerakan dari masyarakat sipil diberbagai daerah di Aceh yang bertujuan untuk menunda seluruh tahapan pemilukada Aceh sebelum konflik regulasi dapat terselesaikan.
Kemudian TA Khalid dan Fadhlullah menggugat KIP Aceh ke Mahkamah Konstitusi, dengan permohonannya meminta membatalkan seluruh tahapan pemilukada Aceh. Menyikapin permohonan dari TA Khalid dan Fadhlullah pada tanggal 24 November 2011 Mahkamah Konstitusi mengelar sidang putusan akhir yang dibacakan oleh ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa tahapan Pemilukada yang disusun KIP Aceh sudah sesuai dengan peraturan perundang– undangan. Soal pilkada harus berdasarkan Qanun, Mahkamah Konstitusi menilai Qanun Nomor 7 Tahun 2006 tetap bisa menjadi payung hukum karena rancangan Qanun baru (hasil konsensus) tidak dapat diselesaikan oleh legislatif Aceh. ”Dengan tidak adanya Qanun Baru maka secara hukum qanun lama tetap berlaku dan dapat diberlakukan”, selain itu hakim konstitusi juga menyatakan calon perseorangan dalam pemilukada Aceh sudah sesuai dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak pula melanggar butir 1.2.2 MoU Helsinki.
Mahkamah Konstitusi Meluruskan bahwa tidak ada konflik regulasi yang terjadi di Aceh menyangkut pelaksanaan pemilukada seperti halnya yang didahlilkan permohon dalam pokok permohonannya “menyangkut pelaksanaan pemilukada, aturannya sudah jelas dan termohon sebagai penyelenggara pemilukada telah menjalankan tugas dan wewenangnya dengan baik sebagaimana aturan perundang-undangan yang berlaku” (Harian Aceh, 25 November 2011) sebelum keputusan final Mahkamah Konstitusi yang dibacakan tanggal 24 november 2011, Mahkamah Konstitusi telah membacakan Keputusan Sela, dalam keputusan sela Mahkamah Konstitusi pemilukada Aceh akan dilaksanakan pada tanggal 16 Februari 2012.
Melihat polemik calon perseorangan menjelang Pemilukada Aceh saat ini, bagaimana potensi pemilukada Aceh kedepan? Apakah penguatan demokrasi yang diimplementasikan dengan legalnya calon perseorangan untuk mengikuti pemilukada Aceh akan tetap menjaga perdamaian Aceh?. Atau akan terjadi gesekan sesama bangsa Aceh ? 
Konflik eks- kombatan
Pemetaan objektif menyangkut kisruh pemilukada Aceh yang terjadi saat ini sebenarnya konflik politik tidak hanya bersumber dari pro dan kontra calon perseorangan yang selanjutnya menjadi polemik antara legislatif, eksekutif dan KIP Aceh (konflik regulasi) namun ada suatu konflik politik sesama eks-kombatan atau ”GAM VS GAM” antara Irwandi Yusuf dengan Partai Aceh. Indikasi hal ini dapat dilihat dengan naiknya Irwandi Yusuf menjadi calon gebernur tidak melalui Partai Aceh, padahal ketika pilkada tahun 2006 yang lalu Irwandi Yusuf sangat mendapat dukungan dari berbagai elemen eks-kombatan yang saat ini berada di Partai Aceh. Dan tidak dimasukkannya calon perseorangan ke dalam Raqan Pilkada oleh DPRA. hal ini memperlihatkan bahwa Partai Aceh yang dikendalikan “Mahlik Mahmud berkeinginan menghentikan langkah Irwandi Yusuf untuk maju menjadi calon gubernur melalui jalur perseorangan”, dan “Partai Aceh juga akan berusaha untuk menunda pemilukada Aceh atau memboikot pemilukada Aceh”. Kalau pemilukada ditunda ada harapan dari Partai Aceh Raqan pemilukada Aceh akan ditandatanganin oleh Pjs Gubernur Aceh (pernyataan Abdullah Saleh, Atjeh Post, 10 Juli 2011)
Mencermati dinamika politik menjelang pemilukada saya beramsumsi bahwa pertama tahapan dan konflik menjelang pemilukada akan menjadikan rakyat Aceh lebih cerdas dalam memahami realita politik Aceh, kedua ketika tidak ada komunikasi antar elite politik di Aceh, dalam menyelesaikan persoalan konflik politik ini dan elite politik lebih mengutamakan egonya, maka besar kemungkinan kekerasan yang berbentuk politik menjelang dan sesudah pemilukada akan terjadi di Aceh.
Tercatat setidaknya sudah ada empat kasus kekerasan yang membuat keresahan dikalangan masyarakat sipil di Aceh yaitu meledaknya granat di depan kantor tim sukses Irwandi Yusuf–Muhyan Yunan, selang dua hari kemudian sebuah granat meladak lagi di trotoar jalan Tgk Daund Beureueh di depan wisma Lampreit, beberapa hari berselang adanya kasus penembakan buruh pabrik yang sedang beristirahat siang di Geudong Pase, Aceh Utara, kemudian pada tanggal 9 Desember adanya ancaman bom di kantor Bupati Aceh Utara.
            Apabila kekerasan terus terjadi di Aceh tanpa adanya penyelesaian secara hukum akan membuat penyelengaraan pemilukada Aceh menjadi Rawan akan timbulnya ceos, Dan hal ini sangat berbahaya terhadap pembangunan politik yang sedang berlangsung di Aceh, elemen masyarakat harus menentukan peranya untuk mendesak elite agar menghentikan kekerasan dan konflik politik yang terjadi saat ini, jadikanlah pesta demokrasi ini menjadi jalan untuk mendapatkan kebaikan bersama guna mengwujudkan cita-cita MoU helsinki.
Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik Unimal dan Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara.`

Tidak ada komentar:

Posting Komentar