Senin, 02 Juli 2012


Potret Buruh di Era SBY
Oleh: Jefri Suseio

SETIAP tanggal 1 mei di peringati sebagai Hari Buruh Internasional yang dikenal dengan May Day. Para buruh, aktivis, dan politisi di negara-negara eropa timur, dan eks komunis kerap merayakan hari buruh dengan suka cita. Mereka mengangap May Day adalah sebuah kemenangan kelas buruh.
Dalam konteks indonesia apakah May Day 2012 diperingati sebagai hari kemenangan kelas buruh ? atau sebaliknya May Day tahun ini di jadikan momentum untuk merenung kekalahan buruh di indonesia, mengingat banyak PHK di indonesia dan kebijakan ekonomi SBY yang Neoliberal.  
Lahirnya May Day sendiri, merujuk pada kongres internasional ke -2 tahun 1889. Saat itu partai buruh dan politisi yang beraliran sosialis membuat sebuah pertemuan internasional, guna “merealisasikan” seruan Karl Marx “para buruh sedunia bersatulah”. Setelah “rontoknya” beberapa negara komunis dunia dan para buruh menjadi kelas menengah, membuat momen 1 mei hanya diperingati sebagai euforia semata, tidak lagi menjadi “ritual” politik untuk melakukan beberapa startegi guna memperjuangkan bergening posisi buruh yang lebih baik.
Sebenarnya apa yang terjadi dengan buruh kita saat ini. ? setelah lahirnya era reformasi, secara politik buruh memiliki kebebasan untuk mendirikan serikat buruh namun secara ekonomi kehidupan buruh semangkin terperosok.
Secara politik di era SBY, kehidupan buruh untuk berserikat sangat terbuka lebar. Kini tidak hanya ada dua atau tiga serikat buruh. namun ada enam puluh ribu serikat buruh di indonesia. Kendati belum ada partai buruh yang mampu merebut simpati rakyat, namun sebagian serikat buruh bukan tidak mungkin bergabung dengan partai tertentu yang konsen mengadvokasi buruh.
“Gelora” pergerakan kaum buruh semangkin tumbuh mewarnai setiap “sendi-sendi” pergerakan diberbagai daerah. Mogok kerja dan demo, tidak mampu lagi dibendung. bahkan pergerakan buruh tidak hanya memprotes kebijakan perusahaan namun buruh juga turut “andil” dalam berbagai pergerakan guna memprotes kebijakan presiden.
SBY memang telah memberikan “taring” kepada kaum buruh dalam melakukan protes. Lihatlah yang terjadi dengan PT Freeport Indonesia di wamena papua. sempat memberhentikan operasional pertambangan beberapa hari karena konflik perburuhan. Para buruh melakukan mogok kerja dan demo menuntut kenaikan upah.
Tingginya pergerakan kaum buruh. Membawa dua problema, pertama buruh diera SBY kuat secara politik untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Kedua, bagi SBY sendiri akan kesulitan dalam mencari investor asing untuk datang ke indonesia karena di mata para investor. indonesia bukan lagi “surga”. mengigat para buruh tidak lagi bisa di “tindas” dengan upah yang murah.
Kesejahteraan Buruh ...
SBY memang telah memberikan hak sipol kaum buruh. Namun tidak dengan hak ekosob. Indikasinya adalah upah buruh yang masih rendah dan diberlakukannya sistem autsourcing. Sistem ini menjadi “momok” bagi buruh karena sewaktu-waktu mereka dapat kehilangan kerja.
Aristoteles dalam bukunya politics beragumentasi “jika mereka (para buruh) tidak merasakan kesenangan yang seimbang dengan kerja kerasnya, dimana para buruh memperoleh sedikit, mereka pasti akan menuntut”. Dari argumentatif aritoteles maka dapat di asumsikan bahwa mencuatnya gerakan buruh di indonesia dengan mensegel fasilitas publik seperti memblokir jalan tol dan bandarah. akibat dari kegagalan negara dalam menghujudkan kesejahterakan kaum buruh.
“Tampaknya” SBY harus belajar dengan jepang dalam hal mensejahterakan buruh. Kalau di jepang buruh “egan” melakukan mogok kerja atau protes ketika adanya konflik. Pemerintah jepang sangat tanggap dan cepat dalam menyelesaikan berbagai persoalan perburuhan. Hak–hak buruh juga diatur dalam konstitusi dan perundang-undangan jepang. Dan kekuatan hukum buruh di jepang dianggap lebih baik di banding negara-negara barat.
Kalau di jepang pemerintahnya ikut berjuang dalam menghujudkan hak-hak buruh. Di indonesia buruhnya sendiri yang berjuang untuk menghujudkan hak-haknya. Ketika negara bersekutuh dengan korporat maka yang terjadi adalah perusahaan menjadi “mesin pencetak uang dan buruh sebagai bahan bakarnya”.
Buruh di negari akan terus ter-exploitasi apabila presiden dan DPR tidak membuat regulasi UU yang menjamin hak-hak buruh. Mau berapa banyak lagi redakalisme buruh terus berkembang, mau berapa banyak lagi TKI/TKW menjadi korban di luar negeri agar pemerintah dan DPR bertindak ?
Di saat DPR sibuk dengan gonjang – ganjing beredarnya vidio mesum, disaat Budieono sibuk dengan meributkan suara azha mesjid. Di saat itulah kasus TKI asal lombok yang menjadi korban perdangangan organ tubuh terabaikan. Ironis memang dengan alasan belum mendapatkan laporan dari BNP2TKI presiden dan DPR hanya diam dan belum melakukan langkah – langkah progresif.
Momentum 1 mei 2012 mungkin tidak bisa di rayakan dengan suka cita. Sebaliknya para buruh dan mahasiswa akan turun ke jalan. Tujuannya satu mengecam UU tenaga kerja yang di anggap pro pemodal, fenomena ini rutin setiap tahunnya. Tidak jarang berakhir bentrok dengan polisi.
“dibalik” lemahnya negara dalam memperjuangkan hak-hak buruh. Sudah selayaknya buruh bersatu dan melakukan alternatif politik lain, tidak hanya berdemontrasi dan mogok kerja. Lassale “menyatakan bahwa dalam ekonomi kapitalis, buruh secara prinsipiil selalu hanya mungkin menerimah upah yang pas menjamin minimum. Eksistensinya buruh harus merebut kekuasaan melalui pemilihan umum”.
Pandangan lassale adalah sebuah solusi untuk menjawab permasalahan buruh dewasa ini. Dengan sistem neoliberal yang di anut SBY. kaum buruh tidak bisa mengandalkan demontrasi untuk memperjuangkan hak-haknya dan meningkatkan taraf hidupnya. Hanya satu cara yang harus di lakukan buruh kalau ingin sejahtera yaitu melakukan monuver politik untuk merebut kekuasaan. 

Penulis adalah aktivis Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar