Potret
Buruh di Era SBY
Oleh:
Jefri Suseio
SETIAP
tanggal 1 mei di peringati sebagai Hari Buruh Internasional yang dikenal dengan
May Day. Para buruh, aktivis, dan politisi di negara-negara eropa timur, dan
eks komunis kerap merayakan hari buruh dengan suka cita. Mereka mengangap May
Day adalah sebuah kemenangan kelas buruh.
Dalam
konteks indonesia apakah May Day 2012 diperingati sebagai hari kemenangan kelas
buruh ? atau sebaliknya May Day tahun ini di jadikan momentum untuk merenung
kekalahan buruh di indonesia, mengingat banyak PHK di indonesia dan kebijakan
ekonomi SBY yang Neoliberal.
Lahirnya
May Day sendiri, merujuk pada kongres internasional ke -2 tahun 1889. Saat itu
partai buruh dan politisi yang beraliran sosialis membuat sebuah pertemuan
internasional, guna “merealisasikan” seruan Karl Marx “para buruh sedunia
bersatulah”. Setelah “rontoknya” beberapa negara komunis dunia dan para buruh
menjadi kelas menengah, membuat momen 1 mei hanya diperingati sebagai euforia
semata, tidak lagi menjadi “ritual” politik untuk melakukan beberapa startegi
guna memperjuangkan bergening posisi buruh yang lebih baik.
Sebenarnya
apa yang terjadi dengan buruh kita saat ini. ? setelah lahirnya era reformasi,
secara politik buruh memiliki kebebasan untuk mendirikan serikat buruh namun
secara ekonomi kehidupan buruh semangkin terperosok.
Secara
politik di era SBY, kehidupan buruh untuk berserikat sangat terbuka lebar. Kini
tidak hanya ada dua atau tiga serikat buruh. namun ada enam puluh ribu serikat
buruh di indonesia. Kendati belum ada partai buruh yang mampu merebut simpati
rakyat, namun sebagian serikat buruh bukan tidak mungkin bergabung dengan
partai tertentu yang konsen mengadvokasi buruh.
“Gelora”
pergerakan kaum buruh semangkin tumbuh mewarnai setiap “sendi-sendi” pergerakan
diberbagai daerah. Mogok kerja dan demo, tidak mampu lagi dibendung. bahkan
pergerakan buruh tidak hanya memprotes kebijakan perusahaan namun buruh juga
turut “andil” dalam berbagai pergerakan guna memprotes kebijakan presiden.
SBY
memang telah memberikan “taring” kepada kaum buruh dalam melakukan protes.
Lihatlah yang terjadi dengan PT Freeport Indonesia di wamena papua. sempat
memberhentikan operasional pertambangan beberapa hari karena konflik
perburuhan. Para buruh melakukan mogok kerja dan demo menuntut kenaikan upah.
Tingginya
pergerakan kaum buruh. Membawa dua problema, pertama buruh diera SBY kuat
secara politik untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Kedua, bagi SBY sendiri
akan kesulitan dalam mencari investor asing untuk datang ke indonesia karena di
mata para investor. indonesia bukan lagi “surga”. mengigat para buruh tidak
lagi bisa di “tindas” dengan upah yang murah.
Kesejahteraan Buruh ...
SBY
memang telah memberikan hak sipol kaum buruh. Namun tidak dengan hak ekosob.
Indikasinya adalah upah buruh yang masih rendah dan diberlakukannya sistem autsourcing.
Sistem ini menjadi “momok” bagi buruh karena sewaktu-waktu mereka dapat
kehilangan kerja.
Aristoteles
dalam bukunya politics beragumentasi “jika mereka (para buruh) tidak merasakan
kesenangan yang seimbang dengan kerja kerasnya, dimana para buruh memperoleh
sedikit, mereka pasti akan menuntut”. Dari argumentatif aritoteles maka dapat
di asumsikan bahwa mencuatnya gerakan buruh di indonesia dengan mensegel
fasilitas publik seperti memblokir jalan tol dan bandarah. akibat dari
kegagalan negara dalam menghujudkan kesejahterakan kaum buruh.
“Tampaknya”
SBY harus belajar dengan jepang dalam hal mensejahterakan buruh. Kalau di
jepang buruh “egan” melakukan mogok kerja atau protes ketika adanya konflik. Pemerintah
jepang sangat tanggap dan cepat dalam menyelesaikan berbagai persoalan
perburuhan. Hak–hak buruh juga diatur dalam konstitusi dan perundang-undangan
jepang. Dan kekuatan hukum buruh di jepang dianggap lebih baik di banding
negara-negara barat.
Kalau
di jepang pemerintahnya ikut berjuang dalam menghujudkan hak-hak buruh. Di
indonesia buruhnya sendiri yang berjuang untuk menghujudkan hak-haknya. Ketika
negara bersekutuh dengan korporat maka yang terjadi adalah perusahaan menjadi
“mesin pencetak uang dan buruh sebagai bahan bakarnya”.
Buruh
di negari akan terus ter-exploitasi apabila presiden dan DPR tidak membuat
regulasi UU yang menjamin hak-hak buruh. Mau berapa banyak lagi redakalisme
buruh terus berkembang, mau berapa banyak lagi TKI/TKW menjadi korban di luar
negeri agar pemerintah dan DPR bertindak ?
Di
saat DPR sibuk dengan gonjang – ganjing beredarnya vidio mesum, disaat Budieono
sibuk dengan meributkan suara azha mesjid. Di saat itulah kasus TKI asal lombok
yang menjadi korban perdangangan organ tubuh terabaikan. Ironis memang dengan alasan
belum mendapatkan laporan dari BNP2TKI presiden dan DPR hanya diam dan belum
melakukan langkah – langkah progresif.
Momentum
1 mei 2012 mungkin tidak bisa di rayakan dengan suka cita. Sebaliknya para
buruh dan mahasiswa akan turun ke jalan. Tujuannya satu mengecam UU tenaga
kerja yang di anggap pro pemodal, fenomena ini rutin setiap tahunnya. Tidak
jarang berakhir bentrok dengan polisi.
“dibalik”
lemahnya negara dalam memperjuangkan hak-hak buruh. Sudah selayaknya buruh bersatu
dan melakukan alternatif politik lain, tidak hanya berdemontrasi dan mogok kerja.
Lassale “menyatakan bahwa dalam ekonomi kapitalis, buruh secara prinsipiil
selalu hanya mungkin menerimah upah yang pas menjamin minimum. Eksistensinya
buruh harus merebut kekuasaan melalui pemilihan umum”.
Pandangan
lassale adalah sebuah solusi untuk menjawab permasalahan buruh dewasa ini. Dengan
sistem neoliberal yang di anut SBY. kaum buruh tidak bisa mengandalkan
demontrasi untuk memperjuangkan hak-haknya dan meningkatkan taraf hidupnya.
Hanya satu cara yang harus di lakukan buruh kalau ingin sejahtera yaitu
melakukan monuver politik untuk merebut kekuasaan.
Penulis adalah aktivis Solidaritas
Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar